Klaim Curang, Prabowo dan BPN Diyakini Tidak Memiliki Data Valid

josstoday.com

JOSSTODAY.COM - Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengimbau kepada Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno serta Badan Pemenangan Nasional (BPN) untuk fokus pada proses rekapitulasi perolehan suara Pilres yang dilakukan secara berjenjang. Jika memiliki data-data hasil pemilu termasuk dugaan kecurangan, kata Yunarto maka dapat disandingkan dan diadu pada proses rekapitulasi tersebut.

"Saya sarankan kepada Pak Prabowo dan BPN supaya fokus saja ke proses rekapitulasi secara berjenjang karena proses tersebut yang dijadikan dasar untuk menetapkan hasil pilpres 2019," ujar Yunarto di Jakarta, Kamis (16/5/2019).

Yunarto bahkan mencurigai bahwa Prabowo dan BPN tidak mempunyai data yang valid sehingga belum mau melakukan adu data pada proses rekapitulasi KPU. Menurut Yunarto, perolehan data tersebut, jika meyakinkan maka harus diperjuangkan khususnya di forum resmi yang disediakan.

"Nah, bisa dimengerti juga kalau mereka tidak mau melakukan sengketa hasil pemilu nantinya ke Mahkamah Konstitusi. Bisa jadi karena memang tidak ada data," tandas dia.

Menurut Yunarto, menyampaikan data di luar forum resmi yang disediakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak akan mengubah hasil pemilu yang sudah diuji pada proses rekapitulasi. Apalagi rekapitulasinya dilakukan secara berjenjang mulai dari kecamatan, kabupaten, provinsi dan tingkat nasional.

"Proses rekapitulasi tersebut juga terbuka, semua saksi peserta pemilu, pengawas, masyarakat sipil bisa ikut terlibat. Nah, kalau ada data yang berbeda, maka akan dicek kebenarannya karena KPU pegang data, Bawaslu juga pegang data, para saksi juga punya data," terang dia.

Lebih lanjut, Yunarto juga mempertanyakan pengumpulan data dari tim BPN, apakah termasuk quick count atau real count. Pertama, kata dia, jika yang dilakukan termasuk quick count, maka sampelnya diambil secara random yang mewakili TPS seluruh Indonesia.

"Dan memang menarik, 5 jam setelah pencoblosan mereka bisa mengumpulkan 300.000 dokumen C1 dengan kemenangan Prabowo 62 persen. Namun, dalam waktu yang lama, hampir sebulan, datanya bertambah 400-an ribu dokumen C1 dengan kemenangan Prabowo 54,4 persen. Kan aneh, dalam waktu 5 jam bisa mengumpulkan 300 ribu C1, tetapi waktu kurang lebih satu bulan, hanya bisa mengumpulkan 100 ribu data," jelas dia.

Kedua, lanjut Yunarto, jika pengumpulan data tersebut dianggap real count, maka sulit juga untuk mengklaim kemenangan Prabowo hanya berdasarkan data penghitungan suara yang masuk dari 444.976 TPS dari total 810.329. Padahal, data real count di situng KPU sudah mencapai 80 persen lebih dari TPS seluruh Indonesia dengan kemenangan Jokowi sekitar 15 juta suara.

Apalagi hasil penetapan rekapitulasi perolehan suara Pilpres di 26 provinsi dengan suara sah yang masuk 99,6 juta, Jokowi unggul 19,4 juta suara dari Prabowo.

"Ketiga, formula yang digunakan BPN dalam penghitungan suara berubah-ubah. Kalau melihat data yang mereka sampaikan, formulanya tidak konsisten, kadang menggunakan suara sah dan suara tidak sah. Tetapi kadang tidak menggunakan suara sah dan tidak sah," ungkap dia.

Yunarto juga mendorong agar Prabowo mengevaluasi tim internalnya khususnya yang mengolah data. Pasalnya, bisa saja timnya memberikan informasi yang tidak benar atau memang tidak memahami pengolahan data statistik sehingga salah memahami dan mengolahnya.

"Ini penting, agar Prabowo mendapatkan data yang benar untuk disampaikan ke publik. Jangan sampai Prabowo dicatat dalam sejarah dengan penilaian yang buruk karena salah atau tidak benar menyampaikan data hasil pemilu. Yang paling rugi tetap Prabowo, bukan tim data atau tim IT-nya," pungkas dia. (gus/b1)

Pemilu 2019 Pilpres 2019