KPK Senang Dikritik ICW soal Rendahnya Vonis Koruptor

josstoday.com

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan), bersama juru bicara KPK Febri Diansyah memberikan keterangan pers terkait penetapan Dirut PLN Sofyan Basir sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, di gedung KPK, Jakarta, Selasa 23 April 2019.

JOSSTODAY.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) senang atas kritik yang disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai masih rendahnya rata-rata hukuman yang dijatuhi kepada para koruptor sepanjang 2018. Tak hanya soal rendahnya vonis, KPK juga senang dengan masukan-masukan ICW, termasuk mengenai penanganan perkara korupsi kecil atau petty corruption.

"KPK more than happy atas masukan ICW, termasuk inovasi yang harus dilakukan dalam menangani petty corruption atau korupsi Rp 50.000, Rp 10.000," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang Senin (29/4/2019).

Saut mengaku sependapat dengan sejumlah masukan dari ICW soal penanganan korupsi di Indonesia dimulai dari yang paling rendah. Menurut Saut, masukan ICW soal rekomendasi negara perlu melakukan tindakan untuk kasus-kasus korupsi yang nilainya kecil patut ditindaklanjuti, seperti menjatuhkan sanksi administrasi hingga sanksi sosial.

"Sependapat di mana KPK juga perlu rekomendasikan ke pada otoritas administrasi negara melakukan tindakan, misalnya dipecat, didenda, turunkan pangkat atau sanksi sosial bekerja di rumah jompo dan lain-lain," tegasnya.

Saut menyatakan, proses penegakan hukum tak hanya berbicara mengenai berat ringannya hukuman. Lebih dari itu, penegakan hukum merupakan upaya membangun kepastian hukum.

"Yang perlu mendapat penekanan ialah bahwa tidak saja pada penilaian berat ringannya hukuman dalam membangun peradaban itu, tetapi yang lebih utama adalah membangun peradaban kepastian hukum bagi para koruptor dimana di dalamnya juga ada nilai-nilai keadilan itu sendiri," katanya.

Saut memastikan, KPK telah berupaya menjalankan tugas sesuai kewenangan yang dimiliki, termasuk dalam menjatuhkan tuntutan terhadap terdakwa korupsi. Namun, kata Saut, dalam sidang-sidang perkara korupsi, keputusan akhir tetap ada berada di tangan hakim yang memutus perkara.

"Di luar posisi jaksa penuntut (pimpinan KPK memutuskan tuntutan lewat diskusi dengan jaksa penuntut akan dituntut berapa tahun), posisi yang mulia hakim merupakan putusan yang harus benar-benar dihargai (apakah dikurangi atau ditambahai oleh yang mulia) itu sebenarnya merupakan bagian dari check and balances agar potensi konflik kepentingan menjadi minim," katanya.

Saut menyatakan KPK pun bakal mengajukan banding terhadap putusan pengadilan yang dinilai belum memenuhi asas keadilan.
"Dalam hal KPK merasa belum memenuhi azas keadilan, normatifnya KPK banding pada beberapa kasus. Adanya perbedaan hukuman (disparitas) hukuman juga yang didiskusikan intens yang pernah dilakukan ICW dan KPK," tegasnya.

Diberitakan, ICW melakukan pemantauan terhadap 1.053 perkara korupsi dan dengan 1.162 terdakwa sepanjang tahun 2018. Dari hasil pengolahan seluruh putusan pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung (MA) didapatkan rata-rata keseluruhan putusan untuk terdakwa perkara korupsi adalah 2 tahun 5 bulan.

Pengadilan Tipikor atau pengadilan tingkat pertama kerap menjatuhkan hukuman paling rendah, yakni rata-rata 2 tahun 3 bulan. Sementara hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi (PT) atau pengadilan tingkat banding rata-rata 2 tahun 8 bulan, dan MA rata-rata menjatuhkan hukuman 5 tahun 9 bulan. Angka ini sedikit meningkat dari tahun 2017, yakni total rata-rata vonis pidana penjara yaitu 2 tahun 2 bulan. (gus/b1)

KPK ICW Koruptor Vonis Koruptor