Perang Dagang Trump dengan Tiongkok Akan Berskala Super

josstoday.com

Ilustrasi

JOSSTODAY.COM - Rencana Presiden AS Donald Trump untuk meningkatkan perang dagang dengan Tiongkok berpotensi makin menyakiti ekonomi dua negara itu, sementara tidak banyak harapan bahwa Beijing akan bersedia menerima konsesi.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, Tiongkok justru mencari cara-cara baru untuk membalas, sehingga sengketa dagang ini bisa berdampak luas pada hubungan AS-Tiongkok dan kerjasama mereka terkait isu-isu internasional seperti Iran dan Korea Utara, seperti diulas dalam sebuah artikel Foreign Policy edisi 11 September 2018.

Akhir pekan lalu Presiden Trump mengatakan pemerintahannya hampir merampungkan tarif untuk barang-barang Tiongkok senilai US$ 200 miliar, setelah sebelumnya menerapkan tarif atas barang-barang Tiongkok senilai US$ 50 miliar. Di luar itu, Trump mengatakan tengah mempertimbangkan tarif atas barang lain senilai US$ 267 miliar, dan kalau digabungkan maka praktis semua produk Tiongkok yang dijual ke Amerika akan terkena tarif.

Prospek eskalasi perang dagang dengan Tiongkok ini membuat para pakar bisnis dan perdagangan khawatir akan adanya dampak yang jauh lebih besar dibandingkan yang dirasakan sekarang. Selasa (11/9) lalu Kepala Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde memperingatkan bahwa konflik dagang ini bisa membuyarkan prospek perekonomian negara-negara berkembang.

Perusahaan-perusahaan besar AS seperti Apple dan Ford juga mengingatkan bahwa tarif baru akan meningkatkan harga-harga di level konsumen atau berdampak pada lokasi produksi mereka. Rencana tarif berikutnya memang akan mencakup produk-produk konsumen untuk pertama kalinya, dan justru akan lebih dirasakan pahit oleh perekonomian AS sendiri.

“Anda tidak akan bisa menghindar dari dampak langsung produk-produk konsumen, dari jus apel sampai jok mobil,” kata Jake Colvin, wakil presiden urusan perdagangan global di lembaga bisnis National Foreign Trade Council. Tarif tambahan seperti yang sudah diterapkan juga akan memberatkan barang-barang Tiongkok yang digunakan oleh manufaktur AS untuk produksi akhir mereka. Kalau proses produksi makin mahal, maka dampak perang dagang pada dunia usaha AS seperti fungsi jangkar di laut, kata Colvin.

“Manufaktur AS akan kurang kompetitif terhadap para rival asing mereka, apakah di Eropa atau Tiongkok,” ujarnya. Hal demikian justru bisa mendorong sejumlah perusahaan AS untuk memindahkan lokasi produksi ke negara lain, tambahnya.

Logika Globalisasi Hancur
Tarif atas impor dari Tiongkok itu diperkirakan dalam kisaran 10-25%. Di luar dampak biaya yang timbul akibat tarif itu, ada hal lain yang jauh lebih mengkhawatirkan, yaitu dampaknya pada perdagangan dunia. Selama puluhan tahun, dunia usaha telah membangun rantai pasokan global (global supply chains) untuk menekan ongkos dan meningkatkan produktivitas. Dengan makin banyaknya hambatan dagang, AS dan Tiongkok bisa menderita karena lebih banyak barang industri yang terkena tarif, kata Daniel Rosen, mitra di lembaga riset ekonomi Rhodium Group.

Kerugian awal karena tarif ini hanya kecil saja nilainya dibandingkan dengan hantaman di belakang nanti, ujarnya. Misalnya adalah "hilangnya produktivitas dan dinamika perekonomian kedua negara, karena logika globalisasi hancur dan berjalan mundur,” kata Rosen.

Alasan resminya, pemerintahan Trump menerapkan tarif pada produk Tiongkok karena Beijing berperilaku buruk dalam perdagangan, khususnya dengan memaksa perusahaan-perusahaan asing untuk menyerahkan kekayaan intelektual mereka kalau ingin berbisnis di Tiongkok.

Namun, Trump juga menganggap bahwa tarif adalah satu cara untuk memaksa Beijing agar lebih menyeimbangkan perdagangan bilateral antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu -- tahun lalu defisit perdagangan AS dengan Tiongkok mencapai US$ 335 miliar.

Meskipun rangkaian tarif awal yang diterapkan Trump dimaksudkan untuk mengurangi impor dari Tiongkok, perdagangan dua negara justru makin tidak berimbang: defisit perdagangan AS dengan Tiongkok mencapai rekor baru pada Juli 2018. (Salah satu penyebabnya adalah ekspor produk pertanian AS seperti kedelai berkurang karena Tiongkok tidak lagi membeli sebagai balasan atas tarif AS di putaran awal.)

Bejing Mengalah? Nanti Dulu
Kecil peluangnya bahwa peningkatan tarif akan bisa memaksa Beijing menerima konsesi yang dikehendaki Washington, seperti mengakhiri subsidi negara untuk para eksportir besar dan inovasi yang digerakkan negara untuk mendominasi sektor-sektor kunci dalam perekonomian global, kata Wendy Cutler, mantan negosiator dagang AS yang sekarang bekerja di Asia Society Policy Institute.

“Ini merasuk hingga akar sistem ekonomi mereka, dan menjadi kepentingan rakyat Tiongkok,” ujar Cutler. “Ketika kedua pihak makin vokal dan bermusuhan, maka akan makin sulit menemukan solusi yang disepakati.”

Memaksa Beijing mengubah seluruh cetak biru pertumbuhan ekonominya adalah permintaan yang sulit dipenuhi, kata Rosen.

“Butuh satu dekade untuk menjalankan reformasi. Ini bukan sesuatu yang bisa nyala-mati dalam jangka pendek," tambahnya. “Banyak tuntutan AS yang berlawanan dengan rencana lima tahunan atau strategi industri jangka panjang Tiongkok."

Banyak Cara Membalas
Meningkatnya tekanan AS tidak bisa memaksakan konsesi pada Tiongkok, sebaliknya justru mengundang tindakan balasan. Seperti ketika menyikapi tarif-tarif AS sebelumnya, para pejabat Tiongkok memperingatkan bahwa mereka akan memukul balik. Senin (10/9), Kementerian Luar Negeri Tiongkok menegaskan bahwa Beijing "pasti akan mengambil tindakan balasan untuk menjaga hak dan kepentingan kami yang sah," jika Washington mengumumkan tarif baru.

Pertanyaannya adalah, bagaimana? Sebelumnya, Tiongkok membalas dengan tarif resiprokal atas barang-barang dari AS, termasuk produk pertanian dan energi. Namun, Tiongkok hanya mengimpor barang senilai US$ 130 miliar dari AS, sehingga ruang pembalasannya kecil untuk menargetkan ekspor AS.

“Tiongkok kekurangan ruang untuk pembalasan dolar-terhadap-dolar,” kata Cutler. Namun, masih banyak opsi bagi Beijing untuk menimbulkan luka pada Washington, ujarnya.

Tiongkok bisa meningkatkan tarif atas ekspor AS; menunda persetujuan investasi dan merger dari AS; memperlambat proses kepabeanan; atau membeli pesawat, makanan, dan energi dari negara-negara rival AS. Tiongkok bahkan bisa membujuk rakyatnya untuk memboikot sebagian produk AS, seperti yang dilakukannya saat bersengketa dengan Korea Selatan.

“Ada banyak cara di sana,” kata Cutler.

Berimbas ke Politik Dunia
Dan sengketa dagang ini bisa menjalar ke area lain dalam hubungan AS-Tiongkok. Rosen mengatakan bahwa Beijing bisa berpaling ke taktik "non-ekonomi" sebagai jawaban atas tarif berikutnya dari AS, dan itu berarti melemahnya kerjasama dalam kebijakan luar negeri yang disepakati dua negara.

“Aspek spoiler dari perilaku kebijakan luar negeri Tiongkok bisa meningkat, terutama dalam bidang-bidang yang sangat penting bagi Amerika Serikat,” kata Evan Medeiros, penasihat masalah Asia di era Presiden Barack Obama dan sekarang bekerja di Georgetown University. “Namun itu tidak akan mengganggu kepentingannya sendiri, hanya akan merugikan Amerika Serikat.”

Di daftar teratas adalah Iran dan Korea Utara, dua negara yang diharapkan AS bisa mengubah perilaku dengan diberikan berbagai sanksi. Sudah muncul tanda-tanda bahwa Tiongkok mulai melonggarkan perdagangan antar perbatasan dengan Korea Utara.

Masalah dengan Iran mungkin lebih mengkhawatirkan. AS menginginkan semua negara yang membeli minyak dari Iran untuk mengurangi pembelian secara dramatis pada November. Sebagian besar telah melakukan itu, tetapi Tiongkok -- pembeli terbesar minyak Iran -- mengabaikan permintaan AS dan faktanya bulan lalu membeli minyak mentah dalam jumlah yang mencetak rekor baru.

Ketika itu, Tiongkok menyampaikan ke AS bahwa pihaknya tidak bermaksud meremehkan sanksi atas Iran. Sekarang, dengan makin memanasnya perang dagang, janji itu diragukan.

“Dalam bidang-bidang di mana ada perselisihan, Tiongkok akan berusaha menyikut,” kata Medeiros. “Washington akan makin kesulitan untuk mewujudkan kerjasama yang berarti.” (gus/b1)

 

Perdagangan dunia